Analogi kopi dan air putih ini adalah hasil perbincangan aku dengan seorang teman tentang pilihan pekerjaan. Sebenarnya percakapan ini panjang, namun aku persingkat saja. Sisanya, aku serahkan ke pembaca untuk berpendapat.
Dua hari sebelum pergantian tahun, aku diajak seorang teman yang udah lama nggak ketemu. Kami janjian untuk ngopi bareng di tempat favorit kami, Jala Cafe.
Cafe ini dekat dengan rumahku. Dulu Jala Cafe nggak seluas sekarang. Makanannya pun nggak banyak pilihan. Sekarang Jala Cafe menjual kebab dan kata orang sih kebab di sini juara. Dagingnya melimpah. Hmmm, aku penasaran ingin mencobanya.
Awalnya kami ingin bertemu jam 4 sore, setelah solat Ashar. Karena satu dan lain hal, jadi lah molor ke habis magrib. Syukur bisa fleksibel dan nggak ada kerjaan lain, jadi mau malam pun masih bisa dijabanin.
Dari parkiran, aku bisa lihat temanku dengan kerudung berwarna lilac sedang duduk sambil main hp. ‘Ah, ternyata dia udah sampai duluan’, batinku. Dari jauh dia kelihatan agak gemukan. ‘Syukurlah, aku ada teman menggendut bersama’, batinku lagi.
Langsung ku sapa dia dengan heboh saat bertemu. Ku peluk dia erat-erat sambil sedikit teriak.
“Ihhhhh… Rindu kali aku sama qe… Lama kali kita nggak ketemu. Ya Allah… Seneng kali aku”, teriakku.
Ohya, qe/ke (huruf e dibaca seperti pada kata eee tapi kan…) adalah sebutan untuk ‘kamu’ dalam kamus bahasa gaul di Aceh.
Aku duduk di depannya. Kulihat secangkir hot chocolate udah ada di atas meja. Coklat panas juga termasuk andalan tongkrongan ini. Seorang laki-laki yang kelihatan lebih muda dariku mendekat.
“Mau pesan apa, kak?”, tanyanya.
“Sanger satu ya, dek. Dan kebab”. “Eh, qe mau kebab juga nggak?”, tawarku kepada teman.
“Udah kupesan 2 kebab ayam tadi. Satu untuk qe”, jawab temanku.
“Oh, nye menan, sanger manteng, dek” (Oh, kalau gitu sanger aja, dek).
Sambil menunggu pesanan datang, kami pun bertukar kabar dan cerita tipis-tipis soal keseharian. Sempat ada beberapa nostalgia zaman kuliah yang dibahas juga. Tiba-tiba kami berdua tenggelam dalam rindu menjadi anak rantau dan kangen bergadang hanya demi tugas yang harus dikumpul esok harinya.
Analogi Kopi dan Air Putih
Bertemu dia seolah aku bertemu pakar yang sudah siap mendengar keluh kesahku. Memang, dia bisa dibilang semacam motivator atau ekstrimnya aku sebut terapis untuk kesehatan mentalku. Dulu, saat masih kuliah, nggak ada hari tanpa curhat ke dia bahkan masalah sepele sekalipun.
Memasuki jam ke dua kami ngongkrong di Jala Cafe, kami mulai membahas hal yang lebih serius. KARIR.
“Jadi gimana ngajarnya, enak?”, tanyaku. Kata enak sering dipakai untuk mendeskripsikan kata betah, nyaman, kerasan, lancar, dan lain-lainnya.
“Ya gitu lah. Dinikmati aja”, jawabnya santai. Dia adalah manusia paling santuy di jagad raya yang pernah ku temui.
“Aku kadang iri lihat qe kok kerja nggak ada beban. Aku udah nggak nyaman lagi kerja di tempat kerjaku sekarang. Dari awal aku emang udah nggak suka. Lebih enak waktu aku kerja di luar negeri dulu. Pengen resign aja lah aku”, tuhkan, mode curhat auto nyala gitu. ^^
“Apalagi masalahnya? Kalau resign emang udah punya kerjaan baru? Kalau belum punya, jangan keluar dulu lah”, dia pun menasehati tanpa perlu diminta.
Aku udah menduga dia akan jawab begitu. Bagi dia kerja itu lebih baik pakai otak daripada pakai hati. Kalau ikutkan kata hati, kerja sama orang emang nggak enak. Enaknya ya bikin perusahaan sendiri. Atau leyeh-leyeh aja di rumah, uangnya datang sendiri.
Sambil menyeruput sanger panas, aku pun merespon, “Ya belum dapat kerjaan baru, sih. Istirahat dulu aja lah. Capek lahir batin aku. Udah diambang batas”.
“Jadi gini, kalau disuruh pilih antara kopi dan air putih, qe pilih mana?”, tanyanya.
“Air putih lah”, jawabku setengah bingung. Kenapa pula nanya minuman, kan aku udah pesan sanger.
“Kenapa?”, tanyanya sambil membenarkan posisi duduknya dan menaruh kedua tangan di dagunya. Persis gaya Najwa Shihab di channel YouTube Narasi.
“Simply karena aku nggak suka kopi”, jawabku. Jujur aku masih bingung ke mana arah pembicaraan ini.
“Kalau qe haus dan pilihannya ada cuma ada kopi, qe bakal minum nggak kopi itu?”, ujarnya lagi.
“Hmm,, mungkin”, kataku tanpa pikir. Iya-in aja biar cepat.
“Kenapa?”, tanyanya lagi.
Aduh, apa sih maunya. “Karena aku haus. Gila aja kalau aku nggak minum ya aku dehidrasi lah”, kataku mencoba sedikit logis.
“Gitu juga sama kerjaan. Ketika qe butuh duit dan qe ditawari kerja yang qe nggak suka, qe mungkin akan terima kan kerjaan itu? Simply karena qe butuh makan, butuh bertahan hidup. Jadi, jangan ngeluh lagi soal kerjaan. Ingat, secapek-capeknya kerja, lebih capek lagi kalau nganggur”, jelasnya dengan lembut.
Percakapan itu sukses membuat aku berpikir dan merenung. Inilah refleksi terbesar aku di akhir tahun. Aku, bagaimanapun juga harus bersyukur masih bisa bekerja padahal segelintir orang di luar sana terseok-seok mencari sesuap nasi saja.
Aku terdiam sebentar sambil merasakan nyeri di ulu hati. Nyeri yang nggak bisa sembuh dengan betadine atau obat merah, melainkan dengan rasa syukur yang lebih besar.
38 comments
obrolan yang menyenangkan dengan sohib ya mbak
topik kerjaan seperti ini juga pernah aku sharing sama temen, tapi memang bener adanya, jangan resign sebelum ada pegangan kerjaan baru
dan sekarang ini banyak banget lulusan kuliah yang mereka sama sama berjuang mencari kerja, sedangkan sejak kondisi pandemi rasanya perusahaan juga memberlakukan pengketatan penerimaan karyawan baru
Bener kak. Soalnya aku pernah resign juga belum dapat kerjaan baru dan bikin stres maksimal
bijak banget temennya, boleh dong kenalin sama temennya siapa tau bisa dapat banyak nasihat sekalian bisa ngopi bareng
Nah, ini emang kebiasaan anda. Ujung-ujungnya minta dikenalin. hahaha
Aduh setuju banget sama temennya, mba. Bijaksana. Apalagi di masa pandemi gini, se nggak enak nggak enaknya kerja, jauuuuuh lebih nggak enak orang yang ga punya kerjaan.
Iya mbka. aku syukur sih selalu curhatnya ke dia. Pasti terbuka pikirannya
Aku jadi nge highlight bagian secapek-capek nya kerja lebih capek kalau nganggur.. ya bener juga si, kita harus lebih banyak bersyukur 🙂
Kalau lagi nggak kerja ya syukur, yang kerja juga syukur. Intinya, bersyukurlah. hehehe
Sepakat
Nganggur tuh capek
Apalagi kalau cuma rebahan, main game dan makan kacang
Huhuhu capek banget
Makan kuaci lebih nggak berfaedah, kenyang kagak, capek iya. hahaha
NOte to my self ini kak.
Sebagai ibu rumah tangga kadang ada rasa, ingin santai sejenak dari “kerjaan freelance” padahal freelance itu justru yang menghidupi kami sekeluarga.
Walau kadang pahit, tapi harus dijalani, pakai “otak” bukan hati ya hehe
Bener kak. Aku juga pernah nganggur dan itu capek banget. Sensitif pulak karena nggak ada pemasukan.
Baru tau kak Jasmi orang Aceh ya?
Hihihi jadi inget suami yang lancar bahasa Aceh padahal Mandailing. Mungkin karena dulu kerjaannya bikin lagu dan film Aceh
Tapi dulu, pas si bergek masih kecil.
Antara kopi dan air putih, ternyata temen kak Jasmi emang bener. Apapun yang kita jalani harus penuh dengan rasa syukur.
Kebayang kalo gak bersyukur dengan kerjaan kita, ternyata banyak yang ingin menggantikan posisi kita.
Wah, suaminya tetanggaan ya.. Orang industri film ternyata. Sukses terus untuk kakak dan suami.
Iya, harus syukur, kalau nggak syukur malah kurang nikmatnya
Hmmm mungkin sebagai orang tua saya juga harus mengajari anak anak mempunyai banyak keahlian agar bisa bertahan di zamannya saat kesulitan datang atau saat lapang tidak lupa daratan
bener kak. Harus banyak skill biar kalau di skill pertama kurang beruntung, masih bisa mengadu nasib pakai skill kedua.
Duh, nampol banget itu quotesnya mbak.
Secapek-capeknya kerja, masih lebih capek nganggur.
Lah iya, udah gak ada kerjaan, gak ada pemasukan pula 🙈
Capeknya karena nggak ada duit. wkwkwkwk.
Mau beli skincare pakai apa, Musdalifaaaaaahhhh.. ^^
Eh, bener ya secapek2 nya orang kerja masih capek orang nganggur? Aku lagi suka rebahan nih kak. Haha… Gimana dong
rebahan emang enak, kalau kelamaan jadi capek. wkwkwkwk. Capek juga karena gak ada duit masuk ^^
Jadi ikutan refleksi diri baca tulisan ini. Begitulah, memperbesar wadah rasa syukur bikin isinya juga makin banyak: keikhlasan, kesabaran, kepuasan, dll.
bener mbak, sekalinya bersyukur ada banyak lagi hal yang mengikutinya seperti kesabaran dan keikhlasan
Kadang yang terlupakan, BERSYUKUR atas apa yang sudah diperoleh yah.
lupa bersyukur karena masih berasa kurang. hiks
Ah iya. saya setuju sekali dengan analogi yang diberikan sama teman kak jasmi. Karena sesuatu berdasarkan kebutuhan. Makanya kudu dikerjakan saja. Nggak papa juga meski dengan terpaksa. Asal bekerjanya dengan sungguh-sungguh, maka hasilnya akan mengikuti dengan usaha kita.
benar kak, selagi ada usaha dan itu halal, insyaAllah berkah
Secapek capeknya kerja, lebih capek lagi kalo nganggur. Iya banget. Aku bertahan setahun lebih di satu pekerjaan yang tiap ngerjainnya bikin aku tertekan, gemes sama flow timnya, bahkan aku sampe merasa punya keriput dini. Diam diam, aku cari yang lain. Pas udah fix bisa pindah kerjaan, baru deh pindah. Semangat ya Kak Jas.
Nah emang harus gitu kak Cha. Syukur kak Cha langsung dapat gantinya ya..
ahh jleb banget ya mbak analoginya
tapi emang itu yg sebenarnya ya mbak
namanya bekerja pasti capek, tapi klo nganggur lebih capek dan stres
stres sekayak mati akal ini mau ngapain lagi soalnya di rumah ya sumur kasur dapur tiap hari. Lagian stres karena gak interaksi dengan dunia luar juga kali yak
Kalau kita bisa dapat keduanya, kopi dan air putih gimana? Hahaha. Anggap saja kalau memilih kopi kita jadi bisa berenergi dan kemudian hasilnya bisa dibelikan air putih 😛
Saya dulu idealis jga sih soal kerjaan, tapi makin kesini sadar yang penting bagaimana bisa membayar semua tagihan dan kebutuhan tiap bulannya.
Kalau suka dua-duanya kenapa harus satu. hahaha
nah itu, yang penting segala bentuk cicilan terpenuhi setiap bulannya,
wuah dapat wawasan baru nih aku soal analogi kopi dan air putih
dan ternyata berbeda ya sama dugaanku
kupikir air putih kalau dituangin ke kopi membuat kopi keluar dari cangkir, diibaratkan hal baik dan buruk
nah itu bisa jadi analogi untuk kasus lain barangkali ya.. hehehe
Baca ini berasa seperti baca kisah fiksi di buku. Ngalirrrr aja…. ☺
Aku setuju dengan teman Mbak Jasmi, bahwa selelah apa pun kita bekerja, apalagi di tahun 2020 lalu, seharusnya bersyukur karena di luar sana banyak orang yang harus di-PHK dan banting setir sana-sini untuk mencari sesuap nasi. Yah, hidup memang pilihan sih, tetapi setidaknya kita sudah memilih pilihan terbaik dibanding yg lainnya. Semangatt!!
Aduh mbak kalau dengar cerita orang yang diPHK selama pandemi bikin hati jadi ngilu. Kita harusnya belajar banyak dari pandemi, terutama belajar bersyukur
Quotenya jleb banget. Secapek-capeknya kerja. lebih capek lagi nganggur! Capek hati ya kalau nganggur. Kerja banyak capek fisiknya, kecuali mungkin di tempat kerja engga enak lingkungannya. Tapi ada gaji lah kalau kerja…
Bener mbak, kadang di tempat kerja ada aja yang nggak enaknya. Tapi selagi kerja sama orang mah hal gitu tetap aja ada. Bahkan bikin perusahaan sendiri juga pasti ada kadar nggak enaknya. ^^ Yang penting ada gaji dan bisa bayar cicilan. ituuuu