Hadiah Ilmu dan Inspirasi
![]() |
Mrs. Naraporn Chan-o-cha, Keynote Speaker from Chulalongkorn University, Thailand |
![]() |
Dr. Dudley Reynolds |
A teacher is call in sick. You are asked to replace the teacher to teach for 50 minutes. The class is English speaking class with lower intermediate level students. You have only 5 minutes preparation. An empty glass is the only aid you have. What are you going to do in the class??1. State the objectives of the lesson!
2. State the teaching scenarios!
Beliau berikan waktu untuk peserta konferensi 5 menit untuk memikirkan apa yang akan diajarkan dalam kelas tersebut dengan waktu persiapan yang mepet sekali. Saya pribadi pun ikut putar otak memikirkan aktifitas apa yang sesuai untuk diajarkan.
Singkat cerita, beliau mengutarakan bahwa mengajar itu adalah mengikuti insting kita. “Teaching is nothing more than following instinct”. Jadi, dalam persiapan waktu yang mepet seorang guru (yang profesional) bisa mengajar bahkan menentukan tujuan pembelajaran dari suatu topik.
Menurut saya, ‘following instinct’ disini kurang lebih sama dengan ‘mental teaching’. Nah, apa itu mental teaching? Mental teaching adalah mengajar yang tidak perlu persiapan matang, tidak perlu lesson plan a.k.a RPP yang lengkap, tapi learning objective nya bisa tercapai. Seorang guru yang mempunyai mental teaching yang bagus, bisa menentukan tujuan pembelajaran dan skenarionya hanya dengan melihat topik dan materi yang disediakan dalam buku teks.
Hmmmm, setidaknya itu temuan yang saya dapat dari kajian tesis master saya. ^^
It is obvious bahwa semakin profesional seorang guru semakin kuat mental teachingnya karena didukung oleh faktor pengalaman mengajarnya. #imho #cmiiw.
Oke, balik lagi ke topik yang dibahas Dr. Reynols, beliau juga mengutarakan bahwa ‘anyone who can speak a language can teach it’. Misal, saya orang Indonesia, dan mampu berbahasa Jerman, misalkan, nah saya bisa saja mengajar bahasa Jerman kepada siapa saja. Namun, namun, namun, saya tetap harus mengembangkan profesionalisme saya sebagai seorang pengajar bahasa Jerman. Agar? Agar saya bisa mengajar dengan efektif. Kira-kira begitu ilustrasinya.
Overall, mata saya jadi terbuka setelah mendengar talk dari Dr. Dudley Reynolds. Sayangnya saya tidak sempat foto-foto karena rame sekali yang ngantri foto dengan beliau, dan nampaknya beliau juga buru-buru untuk coffee break ^^.
Setelah coffee break saya pun masuk ke ruang Convention B untuk sesi workshop oleh Christopher Allen dengan judul ‘Set Your Students to Speak without Tears’. Saya tertarik dengan topik ini karena mahasiswa saya susah sekali diajak speak out didalam kelas, walaupun sudah diiming-imingi traktiran makan malam. lol
Beliau pun menjelaskan bahwa story telling melalui gambar itu salah satu cara efektif untuk mengajak siswa berbicara. Strategi mengajar ini tidak hanya sesuai untuk siswa sekolah rendah dan menengah, tapi juga sesuai untuk tingkat advance seperti mahasiswa.
Contohnya gambar ini.
![]() |
Source: 1000wordsmag |
Beliau pun mengajak partisipan yang mendengar talk beliau untuk menceritakan gambar tersebut melalui guided question berikut.
WHAT = What picture is that?
WHERE = Where is it?
WHO = Who is supposed to live there?
WHY = Why does she/he/it live there?
WHEN = When is supposed the story happened?
Ceritanya kira-kira seperti ini.
‘That was a castle over a giant rock. It was in the southern area of Thailand. Princess Jasmi lived there. She lived there because she was the most beautiful lady in Thailand. She could not live in the real world because everyone wanted to marry her. It happened in 19th century’.
So, what’s your story, guys? Cerita apa yang ada diminda (eccciieeee) kalian tentang gambar tersebut?
Saya pikir saya harus coba strategi ini dikelas untuk semester ini.
Dan kerennya lagi, setiap peserta yang mendengarkan talk beliau dibagikan buku teks gratis berjudul Speak Out lengkap dengan CD audio dan video nya. Rezeki emang gak kemana. #happy
Intinya, saya dapat ilmu banyak sekali dari konferensi ini. Apalagi saya dan partner saya juga ikut presentasi. Judul papernya “Intercultural English Language Learning through Movies’. Topic intercultural memang lagi hangat-hangatnya sekarang. Saat kami presentasi, fortunately ruangannya penuh, bahkan ada yang tidak kebagian kursi lho.
Saya dan teman saya excited sekali. banyak sekali pertanyaan yang ditanyakan, tapi sayangnya diskusinya harus diluar ruangan, karena presenter kedua sudah harus presentasi papernya.
Diskusi setelah presentasi itu hampir setengah jam lho. Ada yang bertanya, rekomendasi film yang bagus untuk diajarkan didalam kelas. Ada yang bertanya, bagaimana mengajar IcLL through movies untuk low proficiency students. Ada juga yang bertanya bagian culture apa yang diajarkan melalui film tersebut.
But, it was awesome. Sharing idea, bertukar nomor kontak, bisa dijadikan partner diskusi.
Karena kami harus diskusi diluar ruangan, saya pun melewati sesi presentasi presenter kedua. Beliau adalah Megumi Ono Tada, dosen di Universitas Hirosaki. Topik yang beliau angkat juga masih seputar intercultural.
Saya pun bertemu lagi dengan beliau saat coffee break sore. Saya diskusi banyak sekali dengan beliau sampai lupa untuk foto-foto. I wish I can meet you again Mrs. Tada. Syukur-syukur kalau mau jadi promotor S3 saya.. hihihi (aamiin.. Hanya mampu berdoa).
Sebelum itu juga saya sempat masuk ke sesi featured speaker Sharon Harvey associate professor dari Auckland University of Technology New Zealand. Topik yang beliau bahas itu 100% tentang topik yang saya bahas dipresentasi; Intercultural Competence.
Dalam presentasinya, beliau menjelaskan bahwa seseorang, siswa pada khususnya harus menjadi seorang yang mampu menempatkan dirinya dalam budaya negara manapun saat berkomunikasi. Ini adalah untuk menghindari misunderstanding atau miscommunication saat berinteraksi.
Selain itu, dalam proses belajar mengajar Bahasa Inggris, siswa perlu juga diajarkan culture dari target language itu sendiri. Intinya, dalam pembelajaran Bahasa Inggris itu harus diajarkan juga local culture (sebagai identitas siswa), target culture (cultre negara yang menjadikan Bahasa Inggris sebagai bahasa pertama), dan world culture (culture seluruh negara).
Language dan culture itu bagai amplop dan perangko. Tidak bisa dipisahkan. Kayak kembar siam. Nempel terus. hihihi..
So, the point is it is crucial for both English teachers and EFL/ESL learners to be ‘intercultural person’ who can put themselves in the middle of international conversation. Dan juga tugas guru untuk memberi feedback pada siswa agar mereka tidak membuat stereotype atau menjudge culture suatu negara itu bagus atau tidak. Siswa juga harus diberitau bahwa mengapresiasi persamaan dan perbedaan kultur antar negara itu sangat penting. Wah, kalau mau bahas topik ini panjang banget. Bisa 6 sks bahas teori, dan long life untuk aplikasi. Saya juga belum paham sekali. masih harus banyak baca dan belajar lagi. Gitchuuuuuu!!!
Reuni dengan Teman Lama dan Bertemu Banyak Teman Baru
Seperti yang saya ceritakan tadi, saya kenal dengan banyak orang baru disini. Semuanya keren-keren. Punya banyak ide kreatif dan inovatif. Saya minta saja semua nomor kontak dan kartu nama profesor-profesor yang hadir. Membangun network lah begitu kira-kira.
Saya juga ketemu banyak orang Indonesia dalam acara ini. So, kayak reuni dengan koloni gitu. Terlebih jumpa satu orang teman lama yang sama-sama berjuang saat master dulu.
![]() |
Pose bareng sama teman lama, dosen Universitas Singaperbangsa Karawang dan Pak Budi, dosen dari Soegijapranata Catholic University |
![]() |
Lunchie together with Thai English teachers |
![]() |
Foto bareng Leslie Barratt. Gak sempat ketemu di Conaplin tahun lalu, ketemunya disini |
Saya juga jumpa dengan seorang mahasiswa dari Universitas Sebelas Maret yang notabene masih S1 tapi udah berani presentasi internationally. Saya jadi iseng flashback. Hmmm, saat saya S1 dulu dan seumuran dia, saya malah asik nongkrong dengan teman dan melakukan banyak hal yang tidak bermanfaat. ‘Ah, tolong maafkan diri saya yang dulu’, bisik saya pada diri sendiri.
Saya ngobrol dengan banyak peserta dari berbagai negara, dari Filipina, Thailand, Vietnam, Myanmar, Timor Leste, Spanyol, New Zealand, bahkan ada yang dari Rumania. saat itulah saya diuji intercultural awareness saya. Sejauh mana saya mengerti budaya mereka sehingga saya juga harus menghormati tata cara mereka.
See, diacara ini saya bisa langsung mempraktekkan ilmu yang saya tau. I experienced intercultural conversation directly. It was so d*mn amazing.
Buku Gratis dari Penerbit Ternama
Ini nih asiknya ikut acara seperti ini. walau deg-degan nunggu jadwal presentasi, tapi bisa lumayan bikin lupa kalau ada penerbit yang bagi buku gratis. hihihi.. Ketahuan ya suka gratisan.
Lumayan bukunya untuk referensi bahan ajar. Selain itu juga, banyak penerbit yang menawarkan diskon tinggi untuk penjualan buku divanue. Ah, saya pun pengen borong aja sekalian semuanya.
Antara buku gratis yang saya dapat adalah buku Breakthrough 1,2, dan 3 penerbit MacMillan, buku kumpulan jurnal Literature and Culture dari Assumption University Press, Thailand, dan buku Speak Out penerbit Pearson. Alhamdulillah. Rezeki.
Makan Thai Cuisine yang Cetar
Saya memang sudah terbiasa dengan makanan Thailand. Selama kurang lebih 7 bulan saya tinggal di Thailand, saya belum coba semua makanannya. Dalam acara ini saya sih berharap disuguhi Tom Yum Kung, Tom Yum Udang yang jadi andalan Thai cuisine. Tapi sayangnya, tidak ada.
Saya disuguhi ikan dengan saus thai yang asam manis gitu. Enak. Makanannya halal ya. Untuk kemaslahatan bersama. hehehe.
Saya jadi bingung mau makan apa karena banyak sekali pilihan makanan yang disediakan. Dessert aneka kue, buah-buahan, dan es krem pun ikut meramaikan meja prasmanan.
Sebenarnya masih banyak hikmah yang bisa didapat dari saya mengikuti acara ini. Kalau diuraikan satu-satu biisa panjang. hehehe..
Saya simpulkan bahwa acara seperti ini memang saat bermanfaat untuk pengembangan profesi kita sebagai seorang guru. So, mari kita galakkan melakukan penelitian dan kemudian kita ceritakan hasilnya pada rekan-rekan dari seluruh penjuru dunia tentang temuan kita.
Thank you for dropping by..
Mudah-mudahan ada lah sedikit ilmu yang teman-teman dapat setelah membaca tulisan ini.
Feel free to share your idea ya. Tinggalkan pesan kamu dikomentar. ^^
Have a good day for you, good people!!
Note: Tunggu tulisan aku selanjutnya; rekomendasi tempat makan halal di Bangkok, Thailand.
0 comments
hahaha.. reuniannya jauh bgt di luar negeri ya, al.. sempat dilema, komentar ini dipublish ato gak. 😛
Aww… Ngedate di thailand dia berdua.
Hmmm…
Sudah kuduga (ala meme)
masuk dalam artikel lain pulak.. hehehe
ada foto.. gak masuk pun dalam blog nya.
mana ada gambar kan gak ikutan foto..
Mana gambar kita??